Peringatan Isra Miraj 1444 H

Isra Mi’raj adalah dua perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam waktu satu malam. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam. Sebab, pada peristiwa ini Nabi Muhammad SAW mendapat perintah untuk menunaikan Shalat lima waktu sehari semalam.

Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah, sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian.

Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul. Peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah sekaligus titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah SAW.

Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta (al-Khalik). Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.

Peristiwa Isra Mi’raj terbagi dalam dua peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini, Nabi mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan Shalat lima waktu.

Sebagai Peringatan atas peristiwa penting ini, Lembaga Kesejahteraan Sosial Miraj Mulia Mengadakan sebuah acara Isra Miraj ditengah tengah masyarakat untuk membantu sekitar sekaligus mengingatkan Kembali tentang betapa pentingnya peristiwa ini dalam sejarah Islam, dengan Mengutip ayat Al Quran Surat An nisa : 9, yang artinya “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”

Oleh karena itu, Miraj Mulia Mengambil sebuah tema dengan judul “ Dengan Meneladani Sifat Rasulullah SAW kita wujudkan generasi yang Berakhlaqul Karimah dan taat beribadah kepada Allah SWT” Dan dengan Terselenggarakannya acara Isra Miraj ini, Kami berharap dapat menjadi motivasi bagi generasi Muda agar tumbuh menjadi generasi yang kuat, sehat, kreatif, berakhlakul Karimah serta selalu taat beribadah kepada Allah SWT.

Foto bersama pengurus Yayasan dengan aparat lingkungan Harapan Jaya
Sambutan Lurah Harapan Jaya Bapak Raden Ika Sudarmika, S.E
Sambutan BABINSA Harapan Jaya Bapak Sertu Sunardi
Sambutan Pengawas Yayasan Miraj Mulia Adv. Samidi, SH.MH
Penampilan nari dari Adik adik Yatama Binaan
Tausyah Isra Miraj Oleh Ust H.Saihudin Qopal
Keistimewaan Bulan Rajab

Keistimewaan Bulan Rajab

Sholat Berjamaah dengan Adik adik binaan di Yayasan Miraj Mulia

Bulan Rajab diyakini sebagai bulan yang sakral dan penuh keistimewaan. Rajab adalah satu dari 4 bulan haram yang dimuliakan Allah SWT.
Pada bulan Rajab dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan amalan baik. Bulan Rajab yang mendekati bulan Ramadan juga menjadi bulan untuk mempersiapkan bulan suci Ramadan. Selain penuh keberkahan, bulan Rajab juga dikenal sebagai bulan terjadinya peristiwa penting dalam Islam. Di bulan ini, Rasulullah untuk pertama kalinya mendapat perintah untuk menegakkan salat 5 waktu. Lalu pada kesempatan ini, insyaallah akan sedikit kami kupas mengenai kemuliaan dan keistimewaan bulan Rajab.

AMALAN SUNAH DIBULAN RAJAB
Bulan Rajab bisa menjadi momen terbaik untuk mempersiapkan diri kita dalam menyambut bulan Ramadhan, karena hanya berjarak sekitar dua bulan sebelum Ramadhan. Namun, tidak terdapat riwayat shahih yang bisa dijadikan dasar tentang keutamaan bulan Rajab, baik puasa sebulan penuh atau puasa di tanggal tertentu di bulan Rajab maupun melaksanakan shalat tahajud di malam-malam tertentu. Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hadits yang menyebutkan amalan di bulan Rajab adalah hadits bathil dan tertolak (Imam Abu Ismail Al Harawi dalam Tabyinul Ujub bimaa warada fii Fadli Rajab).
Imam Ibnu Rajab menegaskan bahwa tidak ada satupun hadits shahih dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu Qilabah, bahwa beliau mengatakan: “Di surga terdapat istana untuk orang yang rajin berpuasa di bulan Rajab.” Namun perlu kita ingat, riwayat bukanlah suatu hadits. Imam Al Baihaqi mengomentari keterangan Abu Qilabah: “Abu Qilabah termasuk Tabi’in senior, beliau tidak menyampaikan riwayat itu selain hanya kabar tanpa sanad.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 213)
Terkait masalah shalat tertentu di bulan Rajab, Imam Ibnu Rajab mengatakan: “Tidak terdapat dalil yang shahih, yang menyebutkan adanya anjuran shalat tertentu di bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat Raghaib di malam Jum’at pertama bulan Rajab adalah hadis dusta, bathil, dan tidak shahih. Shalat Raghaib adalah bid’ah menurut mayoritas ulama.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 213). Lantas apa saja amalan yang bisa diamalkan di bulan-bulan haram seperti bulan Rajab? Berikut ini beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita terkait dengan amalan yang dilakukan di bulan Rajab.

  1. BALASAN BERLIPAT UNTUK AMAL SALEH DAN DOA
    Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa Allah menjadikan mereka bulan-bulan yang suci dan kesuciannya begitu diagungkan, dan menjadikan dosa di dalamnya juga besar, sebagaimana pula Dia menjadikan amal saleh dan balasannya lebih besar[1]. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat di atas, pada bulan haram, umat Islam dilarang menganiaya diri sendiri. Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang atau melakukan maksiat pada bulan itu karena dosanya lebih besar. Termasuk menganiaya diri adalah melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan.

  1. PUASA SUNNAH BULAN RAJAB
    Jika seseorang melaksanakan puasa di bulan Rajab dengan niat puasa sunnah di bulan-bulan haram maka ini dibolehkan, bahkan dianjurkan. Diriwayatkan bahwa beberapa ulama salaf berpuasa di semua bulan haram, di antaranya adalah Ibnu Umar, Hasan Al Bashri, dan Abu Ishaq As Subai’i.

Mengingat sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Al Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu ketika datang seseorang dari suku Al Bahili menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta diajari berpuasa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan: “Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan: “Saya masih kuat, tambahkanlah!” “Dua hari setiap bulan”. Orang ini mengatakan: “Saya masih kuat, tambahkanlah!” “Tiga hari setiap bulan.” orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah di bulan haram dan berbukalah (setelah selesai bulan haram).”

  1. MENGKHUSUSKAN UMRAH DI BULAN RAJAB
    Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah mengatakan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan umrah di bulan Rajab. Kemudian ucapan beliau ini diingkari Aisyah dan beliau diam saja. (HR. Al Bukhari & Muslim).

Umar bin Khatab dan beberapa sahabat lainnya menganjurkan umrah di bulan Rajab. Ibnu Sirin menyatakan bahwa para sahabat melakukan umrah di bulan Rajab karena rangkaian haji dan umrah yang paling bagus adalah melaksanakan haji dalam satu perjalanan sendiri dan melaksanakan umrah dalam satu perjalanan yang lain, selain di bulan haji. (Al Bida’ Al Hauliyah, hal 119)

Dari penjelasan Ibnu Rajab menunjukkan bahwa melakukan umrah di bulan Rajab hukumnya dianjurkan. Beliau berdalil dengan anjuran Umar bin Khatab untuk melakukan umrah di bulan Rajab dan dipraktikkan oleh A’isyah dan Ibnu Umar. Diriwayatkan Al Baihaqi, dari Sa’id bin Al Musayib, bahwa A’isyah Radhiallahu ‘anha melakukan umrah di akhir bulan Dzulhijjah, berangkat dari Juhfah, beliau berumrah bulan Rajab berangkat dari Madinah, dan beliau memulai Madinah, namun beliau mulai mengikrarkan ihramnya dari Dzul Hulaifah. (HR. Al Baihaqi dengan sanad hasan)

Namun, ada sebagian ulama yang menganggap umrah di bulan Rajab tidak dianjurkan karena tidak ada dalil khusus terkait umrah bulan Rajab. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh mengatakan, bahwa para ulama mengingkari sikap mengkhususkan bulan Rajab untuk memperbanyak melaksanakan umrah. (Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/131)

  1. BULAN TERCURAH BANYAK RAHMAT
    Rajab juga dikenal sebagai ‘Rajab al-Asabb’ atau ‘Rajab yang Melimpah’. Ini karena Allah mencurahkan banyak berkah dan nikmat-Nya di bulan ini, serta rahmat-Nya yang melimpah. Rajab juga dikenal sebagai Bulan Tawbah (pertobatan) dan Bulan Istighfar (memohon ampun).
  2. BULAN MEMOHON AMPUN
    Para ulama mengatakan bahwa Rajab adalah bulan untuk memohon ampun, Sya’ban adalah bulan untuk mendoakan Nabi Muhammad SAW, dan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an. Di bulan Rajab, Allah membebaskan manusia dari neraka setiap jamnya. Rajab adalah bulan yang sangat baik untuk bertobat. Sebesar apapun dosa yang dilakukan jika bertaubat dengan ikhlas, maka insya Allah tobat akan diterima.

Demikian pembahasan mengenai amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang tidak dianjurkan dilakukan di bulan Rajab. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita dan menuntun kita ke jalan kebenaran agar tidak keliru dalam melaksanakan amalan kebaikan

Bimbel Siang di Yayasan Miraj Mulia
Tahfidz bersama di Yayasan Miraj Mulia
Batasan Usia Anak Yatim?

Batasan Usia Anak Yatim?

Assalamu ‘alaikum, bpk/ibu pengurus Yayasan Mi’raj Mulia, yang terhormat.

Setahu saya, batasan anak yatim itu sampai anak tersebut balik. Sesudah balik, ia tidak berhak lagi memperoleh santunan.

Tapi ada seseorang yang mengatakan, batasan yatim itu balik, tetapi ketika anak yatim yang sudah balik itu masih bersekolah di sekolah umum atau di madrasah walaupun si dia sudah SMA/sederajat, ia dikatakan masih berhak mendapat santunan yatim.

Hal tersebut bagaimana? Atau berapa sih batasan usianya yang benar? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Wassalamu ‘alaikum.

Jawaban :

Bismillah, WashShalaatu WasSalaamu ‘Alaa Rasulillah….

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Ta’aala,  Wabarokaatuh.

Hamba Allah, penanya yang dirahmati Allah, semoga Allah selalu memberikan karunia untuk kita semua.

Aamiin…

Terimakasih atas perhatian dan responnya terhadap Yayasan Mi’raj Mulia.

Sedikit kami sampaikan, mengenai dasar menentukan penerima santunan, utamanya dengan kategori yatim.

Jika seorang bapak / ayah meninggal, anak-anak yang ditinggalkannya menyandang status yatim. Anak yang menyandang status yatim, berhak menerima santunan.

Sampai kapan ia berhak menerima santunan? Hadits Nabi Muhammad SAW menyebut batasan yatim pada baligh. Berikut ini keterangan Imam An-Nawawi :

وأما نفس اليتم فينقضي بالبلوغ وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يتم بعد الحلم، وفي هذا دليل للشافعي ومالك وجماهير العلماء أن حكم اليتم لا ينقطع بمجرد البلوغ ولا بعلو السن، بل لا بد أن يظهر منه الرشد في دينه وماله. وقال أبو حنيفة: إذا بلغ خمسا وعشرين سنة زال عنه حكم الصبيان، وصار رشيدا يتصرف في ماله، ويجب تسليمه إليه وإن كان غير ضابط له

Status yatim sendiri selesai lantaran baligh. Sebuah riwayat menyebut Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada keyatiman setelah baligh”. Hadits ini menjadi dalil bagi Imam Syafi’i, Imam Malik, dan jumhur ulama yang berpendapat bahwa status yatim tidak selesai karena baligh semata atau bertambahnya usia yatim. Akan tetapi yang perlu kita fahami ialah sebuah kedewasaan dalam beragama maupun kematangan dalam mengelola harta harus juga tampak pada si yatim. Sedangkan jika di dasarkan dari pendapat Imam Abu Hanifah : jika seseorang yatim sudah mencapai usia 25 tahun, statusnya sebagai anak lenyap darinya. Ia menyandang status dewasa yang dapat mengatur sendiri perekonomiannya. Kita pun wajib menyerahkan harta (peninggalan orang tuanya) kepadanya sekalipun ia bukan orang yang cermat.

(Silahkan lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Minhajul Muslim fi Syarhi Shahihi Muslim, Darul Hadits, Kairo, edisi cetakan ke-4, 2001, juz 6, halaman 433).

Menyambut keterangan Imam An-Nawawi di atas, Wahbah Az-Zuhaily menyebut sejumlah batasan perihal yatim yang menerangkan :

لكن أجمع العلماء أن الصبي إذا بلغ سفيها يمنع منه ماله لقوله تعالى وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا . فإن أصبح راشدا ببلوغ خمس وعشرين سنة، فيسقط حينئذ منع المال عنه لقوله تعالى وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Ulama sepakat bahwa ketika seorang anak yatim sudah balig tetapi masih belum sempurna akalnya (belum bisa mengatur harta dengan benar), ia tidak diperbolehkan mengatur hartanya. Ini didasarkan pada firman Allah di surat An-Nisa ayat 5 yang berbunyi “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” Namun, ketika dia baligh dan sudah matang pikirannya dengan mencapai usia 25 tahun, gugurlah penangguhan atas pengelolaan sendiri harta mereka. Dalam hal ini didasarkan pada firman Allah di surat An-Nisa (4) ayat 5 : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Jika kamu merasa mereka telah matang (bisa mengatur harta dengan benar), serahkanlah harta-hartanya kepada mereka.”

(Silahkan buka Wahbah Az-Zuhaily, Ushulul Fiqhil Islami, Darul Fikr Mu’ashir, Beirut, juz : 1, halaman 181).

Dari dasar sumber di atas kita dapat menyimpulkan bahwa anak yatim meskipun sudah baligh di usia 15 tahun secara fisik masih berhak menerima santunan.

Di samping itu masyarakat juga bertanggung jawab atas pengajaran agama dan pendidikan yang memadahi, sesuai dengan kemampuan dari masing-masing pihak, agar anak yatim tersebut dapat menjalankan praktik beragama secara wajar dan mandiri secara perekonomian ke depan.

Terlebih dalam lingkup pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan dasar Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, anak-anak kita wajib dan berhak mendapat pendidikan sekolah selama 12 (dua belas) tahun, sebagai bekal hidupnya ke depan.

Jadi menurut hemat kami, anak-anak yatim yang masih sekolah atau sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi tetap kami upayakan untuk menerima semacam santunan.

Dan sekalipun sebagian dari kita ada yang berbeda pendapat, mari kita kembalikan dan serahkan semuanya kepada Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

[QS. An Nisa (4) : 59]

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.

[QS. Al-Zalzalah (99) : 7]

Demikian uraian singkat yang dapat kami sampaikan. Semoga keterangan ini dapat kita fahami bersama dan dapat menjadi jawaban.

InsyaAllah kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari seluruh pihak, subhanallah, walhamdulillah, Allahu akbar.

Asuransi Untuk Anak-Anak Kita di Masa Yang Akan Datang

Sebuah bukti nyata cinta orang tua sepanjang jalan ialah mereka yang memikirkan masa depan anaknya. Para orang tua tidak ingin anak-anaknya kelak hidup dalam kesulitan. Persiapan harta pun telah dipikirkan secara maksimal.
Mereka sudah ada yang menyiapkan sejumlah tabungan, asuransi bahkan perusahaan bagi kalangan elit. Rumah juga telah dibangunkan, bahkan telah terhitung sejumlah anak-anaknya. Namun ada juga yang masih bingung mencari-cari bentuk penyiapan masa depan yang terbaik. Ada juga yang sedang memilih perusahaan asuransi yang paling aman dan menjanjikan menurut mereka. Akan tetapi ada juga yang tak tahu harus berbuat apa untuk anak-anaknya karena terbentur ekonomi, bahkan keperluan kesehariannya pun pas-pasan atau bahkan mungkin kurang.

 

Bagi para orang tua yang telah menyiapkan tabungan dan asuransi, hal terpenting yang harus diingatkan ialah jangan sampai kehilangan Allah. Hitungan yang sudah mendetail tentang biaya masa depan tidak boleh sedikitpun menghilangkan peran pasti dari Allah yang Maha Tahu tentang masa depan. Karena jika itu terjadi efeknya sudah pasti sangatlah buruk, yang justru akan mehilangan keberkahan. Jika keberkahan sirna, harta yang banyak pun tak akan memberi manfaat kebaikan sama sekali bagi anak-anak kita.

Silahkan simak kisah berikut ini:

Di dalam buku Alfu Qishshoh wa Qishshoh oleh Hani Al Hajj. Dari perbandingan dua khalifah di jaman Dinasti Bani Umayyah yakni Hisyam bin Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz. Diantara keduanya sama-sama meninggalkan 11 anak, laki-laki dan perempuan. Namun perbedaannya ialah Hisyam bin Abdul Malik meninggalkan warisan harta untuk anak-anak laki-lakinya masing-masing senilai 1 juta Dinar. Sedangkan anak-anak laki-lakinya Umar bin Abdul Aziz, masing-masing hanya mendapatkan setengah dinar.

 

Dengan peninggalan yang begitu melimpah dari Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan untuk anak-anaknya ternyata tidak membawa kebaikan, dan justru mereka hidup dalam keadaan miskin sepeninggal Hisyam. Dibanding anak-anak Umar bin Abdul Aziz yang mendapati warisan lebih sedikit, hidup dalam keadaan kaya tanpa terkecuali, bahkan seorang di antara mereka ada yang menyumbang fii sabilillah, menyiapkan kuda dan perbekalan untuk 100.000 pasukan.

 

Disini yang membedakan diantara keduanya hanya satu hal, yaitu KEBERKAHAN.

 

Mengambil hikmah dari kisah tersebut dapat mengingatkan kita semua akan bahayanya harta banyak yang dipersiapkan untuk masa depan anak-anak akan tetapi justru kehilangan keberkahan. Dari harta yang senilai 1 juta dinar (jika nominal saat ini sekitar 2 triliun rupiah) tidak dapat mengantarkan mereka untuk hidup sekedar berkecukupan apalagi bahagia, bahkan mereka mengalami kefakiran.

 

Kisah tersebut juga mengingatkan kita, tidak terlalu penting berapa nominal atau harta yang kita wariskan untuk anak-anak kita. Terbukti dari warisan hanya setengah dinar (untuk nominal hari ini kurang lebih 1juta rupiah) dapat menjadikan sumber keberkahan dan menjadi modal berharga untuk masa depan dan kecukupan hidup mereka kelak. Bahkan lebih dari itu, warisan tersebut membuat mereka menjadi shalih dengan harta itu.

 

Hal ini bukan hanya sekedar penghibur bagi yang hanya sedikit peninggalannya, namun sebagai bahan untuk berfikir dengan cerdas, sehingga masa depan generasi kita bukan tergantung dari nilai nominal namun dari amal sholih orang tuanya semasa hidupnya, yang akan memberikan contoh bagi anak-anaknya selama hidup, sehingga dapat menjadi sumber keberkahan.

 

Mengingat amal sholih seseorang pasti diperhitungkan oleh Allah baik secara langsung ataupun kelak di masa mendatang, dan bahkan sampai di akhir zaman kelak.

Firman Allah SWT. :

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah orang yang shalih, maka Tuhanmu menghendaki agar/supaya mereka telah sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.”

[QS. Al-Kahfi (18): 82]

Ayat tersebut mengisahkan tentang anak yatim yang hartanya senantiasa dijaga Allah, bahkan Allah mengirimkan juga orang shalih untuk membangunkan rumahnya yang nyaris roboh secara gratis. Sumber dari semua penjagaan Allah tersebut adalah keshalihan ayahnya semasa hidupnya.

Penjelasan dari Al-Qurthubi rahimahullah tentang ayat tersebut :

“Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT. menjaga orang yang shalih pada dirinya dan pada anaknya walaupun mereka jauh darinya. Telah diriwayatkan bahwa Allah SWT. menjaga orang yang shalih pada tujuh keturunannya.”

Wallahu A’lam.

Salah satu jaminan yang sudah pasti adalah sebagaimana janji Allah SWT. :

إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ 
“Sesungguhnya pelindungku adalah Yang telah menurunkan Al Kitab (Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang shaleh.”

[QS. Al-A’raf (7): 196]

Ayat ini yang akan memberikan keyakinan bagi orang-orang beriman bahwa Allah yang Maha Kuasa, yang menurunkan Qur’an untuk bekal hidup sebagai bukti rahmat-Nya bagi semua makhluk-Nya, Allah pula yang akan mengurusi, menjaga dan menolong perjalanan hidup orang-orang shalih dengan Kuasa dan rahmat-Nya.

 

Begitu juga keyakinan seorang Umar bin Abdul Aziz terhadap ayat tersebut. Beliau sangat yakin dengan modal mendidik anaknya menjadi shalih walau harta warisan yang ditinggalkan hanya setengah dinar untuk anak laki-laki dan seperempat dinar untuk anak perempuannya, namun karena yakin Allah yang akan mengurusi, menjaga dan menolong anak-anak sepeninggalnya, kisah tersebut telah membuktikan bahwa keyakinannya itu benar.

 

Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah besar yang berhasil memakmurkan masyarakat besarnya. Sudah tentu dia berhak juga untuk makmur seperti masyarakatnya, atau bahkan lebih, karena dia sebagai pemimpin mereka. Akan tetapi tidak demikian, ternyata ia tak meninggalkan banyak harta, tabungan yang cukup, tidak ada usaha yang mapan untuk anak-anaknya, dan tidak ada juga semacam suransi seperti hari ini. Yang menjadi asuransi baginya hanya dari ayat tersebut. Tidak ada sedikitpun kekhawatiran, dan tak tersirat sedikitpun rasa takut.

 

Mari kita bersama-sama mengambil kesimpulannya dan pelajaran. Warisan berupa harta bukanlah segala-galanya. Bagi yang mau meninggalkan jaminan masa depan untuk anaknya berupa tabungan, asuransi atau perusahaan, simpankan untuk anak-anak dari harta yang tak diragukan kehalalannya, untuk menjaga keberkahannya. Dan wajib kita gariskan (bagi yang saat ini memiliki harta berlimpah ataupun yang baru sekedar cukup), jaminan paling berharga yang akan menjamin masa depan anak-anak kita adalah amal sholih para orang tua dan keshalihan anak-anak kita.

Dengan amal sholih orang tua, mereka dijaga. Dan dengan keshalihan anak-anak kita, mereka akan diurusi dan ditolong oleh Allah.

Semoga dengan mengambil pelajaran dari kisah tersebut kita dapat memberikan asuransi terbaik bagi anak-anak kita, dan memberikan keberkahan untuk masa depan generasi kita semua. Aamiin…
 

Memahami Asmaul Husna

Terdapat keistimewaan dan keberkahan dari nama indah yang di miliki oleh Allah SWT. atau yang lebih dikenal dengan Asmaul Husna yang secara pengertiannya adalah kumpulan nama-nama yang indah dan bagus baik secara lafadz maupun secara makna. Bahkan asmul husna atau ada juga yang menyebutnya asmaul A’dhom adalah sekumpulan nama yang di tentukan dan di miliki oleh Allah SWT., meskipun pada keterangan kitab lain menyebutkan tidak hanya 99 nama yang di milikinya akan tetapi banyak sekali nama lain yang di milikiNya.
Menurut pendapat jumhur ulama, asmaul husna berjumlah tidak terbatas.

Tidak ada satu pun orang yang tahu berapa pastinya jumlah asmaul husna. Hal ini didasarkan pada do’a baginda Rasulullah SAW. ;
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, yang Engkau menamakan diriMu dengan nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hambaMu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang masih tersimpan di sisi-Mu.” [HR.Ahmad :3712]

Dengan demikian, Allah Azza Wa Jalla memiliki nama / asma’ yang sangat banyak. Beberapa di antaranya adalah yang Allah sebutkan dalam Al-Quran. Ada pula yang Allah ajarkan kepada salah seorang hamba-Nya (misalnya kepada baginda Rasulullah SAW.), dan itu tidak termaktub dalam Kitab-Nya.

Tentunya di dalamnya terdapat beberapa hal penting yang berkaitan langung dengan rahasia di balik asmaul husna itu, terlebih kita kaji salah ayat di dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT. ;

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu.” [QS. Al-A’raf (7) : 180]

Berikut Tabel Asmaul Husna :
Dan asmaul husna tersebut didapatkan dari ayat di dalam Al Qur’an ;
1. Ar-Rahmaan Yang Maha Pemurah Al-Faatihah: 3
2. Ar-Rahiim Yang Maha Pengasih Al-Faatihah: 3
3. Al-Malik Maha Raja Al-Mu’minuun: 11
4. Al-Qudduus Maha Suci Al-Jumu’ah: 1
5. As-Salaam Maha Sejahtera Al-Hasyr: 23
6. Al-Mu’min Yang Maha Terpercaya Al-Hasyr: 23
7. Al-Muhaimin Yang Maha Memelihara Al-Hasyr: 23
8. Al-‘Aziiz Yang Maha Perkasa Ali ‘Imran: 62
9. Al-Jabbaar Yang Kehendaknya Tidak Dapat Diingkari Al-Hasyr: 23
10. Al-Mutakabbir Yang Memiliki Kebesaran Al-Hasyr: 23
11. Al-Khaaliq Yang Maha Pencipta Ar-Ra’d: 16
12. Al-Baari’ Yang Mengadakan dari Tiada Al-Hasyr: 24
13. Al-Mushawwir Yang Membuat Bentuk Al-Hasyr: 24
14. Al-Ghaffaar Yang Maha Pengampun Al-Baqarah: 235
15. Al-Qahhaar Yang Maha Perkasa Ar-Ra’d: 16
16. Al-Wahhaab Yang Maha Pemberi Aali ‘Imran: 8
17. Aar-Razzaq Yang Maha Pemberi Rezki Adz-Dzaariyaat: 58
18. Al-Fattaah Yang Maha Membuka (Hati) Sabaa’: 26
19. Al-‘Aliim Yang Maha Mengetahui Al-Baqarah: 29
20. Al-Qaabidh Yang Maha Pengendali Al-Baqarah: 245
21. Al-Baasith Yang Maha Melapangkan Ar-Ra’d: 26
22. Al-Khaafidh Yang Merendahkan Hadits at-Tirmizi
23. Ar-Raafi’ Yang Meninggikan Al-An’aam: 83
24. Al-Mu’izz Yang Maha Terhormat Aali ‘Imran: 26
25. Al-Mudzdzill Yang Maha Menghinakan Aali ‘Imran: 26
26. As-Samii’ Yang Maha Mendengar Al-Israa’: 1
27. Al-Bashiir Yang Maha Melihat Al-Hadiid: 4
28. Al-Hakam Yang Memutuskan Hukum Al-Mu’min: 48
29. Al-‘Adl Yang Maha Adil Al-An’aam: 115
30. Al-Lathiif Yang Maha Lembut Al-Mulk: 14
31. Al-Khabiir Yang Maha Mengetahui Al-An’aam: 18
32. Al-Haliim Yang Maha Penyantun Al-Baqarah: 235
33. Al-‘Azhiim Yang Maha Agung Asy-Syuura: 4
34. Al-Ghafuur Yang Maha Pengampun Ali ‘Imran: 89
35. Asy-Syakuur Yang Menerima Syukur Faathir: 30
36. Al-‘Aliyy Yang Maha Tinggi An-Nisaa’: 34
37. Al-Kabiir Yang Maha Besar Ar-Ra’d: 9
38. Al-Hafiizh Yang Maha Penjaga Huud: 57
39. Al-Muqiit Yang Maha Pemelihara An-Nisaa’: 85
40. Al-Hasiib Yang Maha Pembuat Perhitungan An-Nisaa’: 6
41. Al-Jaliil Yang Maha Luhur Ar-Rahmaan: 27
42. Al-Kariim Yang Maha Mulia An-Naml: 40
43. Ar-Raqiib Yang Maha Mengawasi Al-Ahzaab: 52
44. Al-Mujiib Yang Maha Mengabulkan Huud: 61
45. Al-Waasi’ Yang Maha Luas Al-Baqarah: 268
46. Al-Hakiim Yang Maha Bijaksana Al-An’aam: 18
47. Al-Waduud Yang Maha Mengasihi Al-Buruuj: 14
48. Al-Majiid Yang Maha Mulia Al-Buruuj: 15
49. Al-Baa’its Yang Membangkitkan Yaasiin: 52
50. Ay-Syahiid Yang Maha Menyaksikan Al-Maaidah: 117
51. Al-Haqq Yang Maha Benar Thaahaa: 114
52. Al-Wakiil Yang Maha Pemelihara Al-An’aam: 102
53. Al-Qawiyy Yang Maha Kuat Al-Anfaal: 52
54. Al-Matiin Yang Maha Kokoh Adz-Dzaariyaat: 58
55. Al-Waliyy Yang Maha Melindungi An-Nisaa’: 45
56. Al-Hamiid Yang Maha Terpuji An-Nisaa’: 131
57. Al-Muhshi Yang Maha Menghitung Maryam: 94
58. Al-Mubdi’ Yang Maha Memulai Al-Buruuj: 13
59. Al-Mu’id Yang Maha Mengembalikan Ar-Ruum: 27
60. Al-Muhyi Yang Maha Menghidupkan Ar-Ruum: 50
61. Al-Mumiit Yang Maha Mematikan Al-Mu’min: 68
62. Al-Hayy Yang Maha Hidup Thaahaa: 111
63. Al-Qayyuum Yang Maha Mandiri Thaahaa: 11
64. Al-Waajid Yang Maha Menemukan Adh-Dhuhaa: 6-8
65. Al-Maajid Yang Maha Mulia Huud: 73
66. Al-Waahid Yang Maha Tunggal Al-Baqarah: 133
67. Al-Ahad Yang Maha Esa Al-Ikhlaas: 168.
68. Ash-Shamad Yang Maha Dibutuhkan Al-Ikhlaas: 2
69. Al-Qaadir Yang Maha Kuat Al-Baqarah: 20
70. Al-Muqtadir Yang Maha Berkuasa Al-Qamar: 42
71. Al-Muqqadim Yang Maha Mendahulukan Qaaf: 28
72. Al-Mu’akhkhir Yang Maha Mengakhirkan Ibraahiim: 42
73. Al-Awwal Yang Maha Permulaan Al-Hadiid: 3
74. Al-Aakhir Yang Maha Akhir Al-Hadiid: 3
75. Azh-Zhaahir Yang Maha Nyata Al-Hadiid: 3
76. Al-Baathin Yang Maha Gaib Al-Hadiid: 3
77. Al-Waalii Yang Maha Memerintah Ar-Ra’d: 11
78. Al-Muta’aalii Yang Maha Tinggi Ar-Ra’d: 9
79. Al-Barr Yang Maha Dermawan Ath-Thuur: 28
80. At-Tawwaab Yang Maha Penerima Taubat An-Nisaa’: 16
81. Al-Muntaqim Yang Maha Penyiksa As-Sajdah: 22
82. Al-‘Afuww Yang Maha Pemaaf An-Nisaa’: 99
83. Ar-Ra’uuf Yang Maha Pengasih Al-Baqarah: 207
84. Maalik al-Mulk Yang Mempunyai Kerajaan Ali ‘Imran: 26
85. Zuljalaal wa al-‘Ikraam Yang Maha Memiliki Kebesaran serta Kemuliaan Ar-Rahmaan: 27
86. Al-Muqsith Yang Maha Adil An-Nuur: 47
87. Aal-Jaami’ Yang Maha Pengumpul Sabaa’: 26
88. Al-Ghaniyy Yang Maha Kaya Al-Baqarah: 267
89. Al-Mughnii Yang Maha MencukupiAn-Najm: 48
90. Al-Maani’ Yang Maha Mencegah Hadits at-Tirmizi
91. Adh-Dhaarr Yang Maha Pemberi Derita Al-An’aam: 17
92. An-Naafi’ Yang Maha Pemberi Manfaat Al-Fath: 11
93. An-Nuur Yang Maha Bercahaya An-Nuur: 35
94. Al-Haadii Yang Maha Pemberi Petunjuk Al-Hajj: 54
95. Al-Badii’ Yang Maha Pencipta Al-Baqarah: 117
96. Al-Baaqii Yang Maha Kekal Thaahaa: 73
97. Al-Waarits Yang Maha Mewarisi Al-Hijr: 23
98. Ar-Rasyiid Yang Maha Pandai Al-Jin: 10
99. Ash-Shabuur Yang Maha Sabar
Makna Asmaul Husna
1. Ar-Rahmaan: ( الرحمن ) Maha Pengasih, iaitu pemberi kenikmatan yang agung-agung dan pengasih di dunia.
2. Ar-Rahim: ( الرحيم ) Maha Penyayang, iaitu pemberi kenikmatan yang di luar jangkaan dan penyayang di akhirat.
3. Al-Malik: ( الملك ) Maha Merajai/ Menguasai /Pemerintah, iaitu mengatur kerajaanNya sesuai dengan kehendakNya sendiri.
4. Al-Quddus: ( القدوس ) Maha Suci, iaitu tersuci dan bersih dari segala cela dan kekurangan.
5. As-Salaam: ( السلام ) Maha Penyelamat, iaitu pemberi keselamatan dan kesejahteraan kepada seluruh makhlukNya.
6. Al-Mu’min: ( المؤمن ) Maha Pengaman / Pemelihara keamanan, iaitu siapa yang bersalah dan makhlukNya itu benar-benar akan diberi seksa, sedang kepada yang taat akan benar-benar dipenuhi janjiNya dengan pahala yang baik.
7. Al-Muhaimin: ( المهيمن ) Maha Pelindung/Penjaga / Maha Pengawal serta Pengawas, iaitu memerintah dan melindungi segala sesuatu.
8. Al-’Aziiz: ( العزيز ) Maha Mulia / Maha Berkuasa, iaitu kuasaNya mampu untuk berbuat sekehendakNya
9. Al-Jabbaar: ( الجبار ) Maha Perkasa / Maha Kuat / Yang Menundukkan Segalanya, iaitu mencukupi segala keperluan, melangsungkan segala perintahNya serta memperbaiki keadaan seluruh hambaNya.
10. Al-Mutakabbir: ( المتكبر ) Maha Megah / Maha Pelengkap Kebesaran. iaitu yang melengkapi segala kebesaranNya, menyendiri dengan sifat keagungan dan kemegahanNya.
11. Al-Khaaliq: ( الخالق ) Maha Pencipta, iaitu mengadakan seluruh makhluk tanpa asal, juga yang menakdirkan adanya semua itu.
12. Al-Baari’: ( البارئ ) Maha Pembuat / Maha Perancang / Maha Menjadikan, iaitu mengadakan sesuatu yang bernyawa yang ada asal mulanya.
13. Al-Mushawwir: ( المصور ) Maha Pembentuk / Maha Menjadikan Rupa Bentuk, memberikan gambaran atau bentuk pada sesuatu yang berbeza dengan lainnya. (Al-Khaaliq adalah mengadakan sesuatu yang belum ada asal mulanya atau yang menakdirkan adanya itu. Al-Baari’ ialah mengeluarkannya dari yang sudah ada asalnya, manakala Al-Mushawwir ialah yang memberinya bentuk yang sesuai dengan keadaan dan keperluannya).
14. Al-Ghaffaar: ( الغفار ) Maha Pengampun, banyak pemberian maafNya dan menutupi dosa-dosa dan kesalahan.
15. Al-Qahhaar: ( القهار ) Maha Pemaksa, menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaanNya serta memaksa segala makhluk menurut kehendakNya.
16. Al-Wahhaab: ( الوهاب ) Maha Pemberi / Maha Menganugerah, iaitu memberi banyak kenikmatan dan selalu memberi kurnia.
17. Ar-Razzaaq: ( الرزاق ) Maha Pengrezeki / Maha Pemberi Rezeki, iaitu memberi berbagai rezeki serta membuat juga sebab-sebab diperolehnya.
18. Al-Fattaah: ( الفتاح ) Maha Membukakan / Maha Pembuka , iaitu membuka gedung penyimpanan rahmatNya untuk seluruh hambaNya.
19. Al-’Aliim: ( العليم ) Maha Mengetahui, iaitu mengetahui segala yang maujud dan tidak ada satu benda pun yang tertutup oleh penglihatanNya.
20. Al-Qaabidh: ( القابض ) Maha Pencabut / Maha Penyempit Hidup / Maha Pengekang, iaitu mengambil nyawa atau menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki olehNya.
21. Al-Baasith: ( الباسط ) Maha Meluaskan / Maha Pelapang Hidup / Maha Melimpah Nikmat, iaitu memudahkan terkumpulnya rezeki bagi siapa yang diinginkan olehNya.
22. AI-Khaafidh: ( الخافض ) Maha Menjatuhkan / Maha Menghinakan / Maha Perendah / Pengurang, iaitu terhadap orang yang selayaknya dijatuhkan akibat kelakuannya sendiri dengan memberinya kehinaan, kerendahan dan seksaan.
23. Ar-Raafi’: ( الرافع ) Maha Mengangkat / Maha Peninggi, iaitu terhadap orang yang selayaknya diangkat kedudukannya kerana usahanya yang giat, iaitu termasuk golongan kaum yang bertaqwa.
24. Al-Mu’iz: ( المعز ) Maha Menghormati / Memuliakan / Maha Pemberi Kemuliaan/Kemenangan, iaitu kepada orang yang berpegang teguh pada agamaNya dengan memberinya pentolongan dan kemenangan.
25. Al-Muzil: ( المذل ) Maha Menghina / Pemberi kehinaan, iaitu kepada musuh-musuhNya dan musuh ummat Islam seluruhnya.
26. As-Samii’: ( السميع ) Maha Mendengar.
27. Al-Bashiir: ( البصير ) Maha Melihat.
28. Al-Hakam: ( الحكم ) Maha Menghukum / Maha Mengadili, iaitu sebagai hakim yang menetapkan / memutuskan yang tidak seorang pun dapat menolak keputusanNya, juga tidak seorang pun yang berkuasa merintangi kelangsungan hukumNya itu.
29. Al-’Adl: ( العدل ) Maha Adil. Serta sangat sempurna dalam keadilanNya itu.
30. Al-Lathiif: ( اللطيف ) Maha Menghalusi / Maha Teliti / Maha Lembut serta Halus, iaitu mengetahui segala sesuatu yang samar-samar, pelik-pelik dan kecil-kecil.
31. Al-Khabiir: ( الخبير ) Maha Waspada/ Maha Mengetahui.
32. Al-Haliim: ( الحليم ) Maha Penyabar / Maha Penyantun / Maha Penghamba, iaitu yang tidak tergesa-gesa melakukan kemarahan dan tidak pula gelojoh memberikan siksaan.
33. Al-’Adzhiim: ( العظيم ) Maha Agung, iaitu mencapai puncak tertinggi dan di mercu keagungan kerana bersifat dengan segala macam sifat kebesaran dan kesempunnaan.
34. Al-Ghafuur: ( الغفور ) Maha Pengampun, banyak pengampunanNya kepada hamba-hambaNya.
35. Asy-Syakuur: ( الشكور ) Maha Pembalas / Maha Bersyukur, iaitu memberikan balasan yang banyak sekali atas amalan yang kecil.
36. Al-’Aliy: ( العلي ) Maha Tinggi Martabat-Nya / Maha Tinggi serta Mulia, iaitu mencapai tingkat yang setinggi-tingginya yang tidak mungkin digambarkan oleh akal fikiran sesiapa pun dan tidak dapat difahami oleh otak yang bagaimanapun pandainya.
37. Al-Kabiir: ( الكبير ) Maha Besar, yang kebesaranNya tidak dapat dicapai oleh pancaindera ataupun akal manusia.
38. Al-Hafidz: ( الحفيظ ) Maha Pemelihara Maha Pelindung / Maha Memelihara, iaitu menjaga segala sesuatu jangan sampai rosak dan goyah. Juga menjaga segala amal perbuatan hamba-hambaNya, sehingga tidak akan disia-siakan sedikit pun untuk memberikan balasanNya.
39. Al-Muqiit: ( المقيت ) Maha Pemberi kecukupan/ Maha Pemberi Keperluan , baik yang berupa makanan tubuh ataupun makanan rohani.
40. Al-Hasiib: ( الحسيب ) Maha Penjamin / Maha Mencukupi / Maha Penghitung, iaitu memberikan jaminan kecukupan kepada seluruh bamba-hambaNya pada hari Qiamat.
41. Al-Jaliil: ( الجليل ) Maha Luhur, iaitu yang memiliki sifat-sifat keluhuran kerana kesempurnaan sifat-sifatNya.
42. Al-Kariim: ( الكريم ) Maha Pemurah, iaitu mulia tanpa had dan memberi siapa pun tanpa diminta atau sebagai penggantian dan sesuatu pemberian.
43. Ar-Raqiib: ( الرقيب ) Maha Peneliti / Maha Pengawas Maha Waspada, iaitu yang mengamat-amati gerak-geri segala sesuatu dan mengawasinya.
44. Al-Mujiib: ( المجيب ) Maha Mengabulkan, iaitu yang memenuhi permohonan siapa saja yang berdoa padaNya.
45. Al-Waasi’: ( الواسع ) Maha Luas Pemberian-Nya , iaitu kerahmatanNya merata kepada segala yang maujud dan luas pula ilmuNya terhadap segala sesuatu.
46. Al-Hakiim: ( الحكيم ) Maha Bijaksana, iaitu memiliki kebijaksanaan yang tertinggi kesempurnaan ilmuNya serta kerapiannya dalam membuat segala sesuatu.
47. Al-Waduud: ( الودود ) Maha Pencinta / Maha Menyayangi, iaitu yang menginginkan segala kebaikan untuk seluruh hambaNya dan juga berbuat baik pada mereka itu dalam segala hal dan keadaan.
48. Al-Majiid: ( المجيد ) Maha Mulia, iaitu yang mencapai tingkat teratas dalam hal kemuliaan dan keutamaan.
49. Al-Ba’ithu: ( الباعث ) Maha Membangkitkan, iaitu membangkitkan semangat dan kemahuan, juga membangkitkan para Rasul dan orang-orang yang telah mati dari kubur masing-masing nanti setelah tibanya hari Qiamat.
50. Asy-Syahiid: ( الشهيد ) Maha Menyaksikan / Maha Mengetahui keadaan semua makhluk.
51. Al-Haq: ( الحق ) Maha Haq / Maha Benar yang kekal dan tidak akan berubah sedikit pun.
52. Al-Wakiil: ( الوكيل ) Maha Pentadbir / Maha Berserah / Maha Memelihara penyerahan, yakni memelihara semua urusan hamba-hambaNya dan apa-apa yang menjadi keperluan mereka itu.
53. Al-Qawiy: ( القوى ) Maha Kuat / Maha Memiliki Kekuatan , iaitu yang memiliki kekuasaan yang sesempurnanya.
54. Al-Matiin: ( المتين ) Maha Teguh / Maha Kukuh atau Perkasa / Maha Sempurna Kekuatan-Nya , iaitu memiliki keperkasaan yang sudah sampai di puncaknya.
55. Al-Waliy: ( الولى ) Maha Melindungi, iaitu melindungi serta mengaturkan semua kepentingan makhlukNya kerana kecintaanNya yang amat sangat dan pemberian pertolonganNya yang tidak terbatas pada keperluan mereka.
56. Al-Hamiid: ( الحميد ) Maha Terpuji, yang memang sudah selayaknya untuk memperoleh pujian dan sanjungan.
57. Al-Muhshii: ( المحصى ) Maha Menghitung / Maha Penghitung, iaitu yang tiada satu pun tertutup dari pandanganNya dan semua amalan diperhitungkan sebagaimana wajarnya.
58. Al-Mubdi’: ( المبدئ ) Maha Memulai/Pemula / Maha Pencipta dari Asal, iaitu yang melahirkan sesuatu yang asalnya tidak ada dan belum maujud.
59. Al-Mu’iid: ( المعيد ) Maha Mengulangi / Maha Mengembalikan dan Memulihkan, iaitu menumbuhkan kembali setelah lenyapnya atau setelah rosaknya.
60. Al-Muhyii: ( المحي ) Maha Menghidupkan, iaitu memberikan daya kehidupan pada setiap sesuatu yang berhak hidup.
61. Al-Mumiit: ( المميت ) Maha Mematikan, iaitu mengambil kehidupan (roh) dari apa-apa yang hidup.
62. Al-Hay: ( الحي ) Maha Hidup, iaitu sentiasa kekal hidupNya itu.
63. Al-Qayyuum: ( القيوم ) Maha Berdiri Dengan Sendiri-Nya , iaitu baik ZatNya, SifatNya, Af’alNya. Juga membuat berdirinya apa-apa yang selain Dia. DenganNya pula berdirinya langit dan bumi ini.
64. Al-Waajid: ( الواجد ) Maha Penemu / Maha Menemukan, iaitu dapat menemukan apa saja yang diinginkan olehNya, maka tidak berkehendakkan pada suatu apa pun kerana sifat kayaNya yang secara mutlak.
65. Al-Maajid: ( الماجد ) Maha Mulia, (sama dengan no. 48 yang berbeda hanyalah tulisannya dalam bahasa Arab, Ejaan sebenarnya no. 48 Al-Majiid, sedang no. 65 A1-Maajid).
66. Al-Waahid: ( الواحد ) Maha Esa.
67. Al-Ahad: ( الأحد ) Maha Tunggal.
68. Ash-Shamad: ( الصمد ) Maha Diperlukan / Maha Diminta / Yang Menjadi Tumpuan, yaitu selalu menjadi tujuan dan harapan orang di waktu ada hajat keperluan.
69. Al-Qaadir: ( القادر ) Maha Berkuasa/ Maha Kuasa / Maha Berupaya
70. Al-Muqtadir: ( المقتدر ) Maha Menentukan.
71. Al-Muqaddim: ( المقدم ) Maha Mendahulukan / Maha Menyegera, iaitu mendahulukan sebahagian benda dari yang lainnya dalam mewujudnya, atau dalam kemuliaannya, selisih waktu atau tempatnya.
72. Al-Muakhkhir: ( المؤخر ) Maha Menangguhkan / Maha Mengakhirkan / Maha Membelakangkan / Maha Melambat-lambatkan., yaitu melewatkan sebahagian sesuatu dari yang lainnya.
73. Al-Awwal: ( الأول ) Maha Pemulaan / Maha Pertama, iaitu terdahulu sekali dari semua yang maujud.
74. Al-Aakhir: ( الآخر ) Maha Penghabisan / Yang Akhir, iaitu kekal terus setelah habisnya segala sesuatu yang maujud.
75. Azh-Zhaahir: ( الظاهر ) Maha Zahir / Maha Nyata / Maha Menyatakan, iaitu menyatakan dan menampakkan kewujudanNya itu dengan bukti-bukti dan tanda-tanda ciptaanNya
76. Al-Baathin: ( الباطن ) Maha Tersembunyi, iaitu tidak dapat dimaklumi ZatNya, sehingga tidak seorang pun dapat mengenal ZatNya itu.
77. Al-Waalii: ( الوالى ) Maha Menguasai / Maha Menguasai Urusan / Yang Maha Memerintah, iaitu menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaanNya dan menjadi milikNya.
78. Al-Muta’aalii: ( المتعال ) Maha Suci/Tinggi , iaitu terpelihara dari segala kekurangan dan kerendahan.
79. Al-Bar: ( البار ) Maha Dermawan / Maha Bagus (Sumber Segala Kelebihan) / Yang banyak membuat kebajikan, iaitu banyak kebaikanNya dan besar kenikmatan yang dilimpahkanNya.
80. At-Tawwaab: ( التواب ) Maha Penerima Taubat, iaitu memberikan pertolongan kepada orang-orang yang melakukan maksiat untuk bertaubat lalu Allah akan menerimanya.
81. Al-Muntaqim: ( المنتقم ) Maha Penyiksa / Yang Maha Menghukum, kepada mereka yang bersalah dan orang yang berhak untuk memperoleh siksaNya.
82. Al-’Afuw: ( العفو ) Maha Pemaaf / Yang Maha Pengampun, menghapuskan kesalahan orang yang suka kembali untuk meminta maaf padaNya.
83. Ar-Rauuf: ( الرؤف ) Maha Pengasih / Maha Mengasihi, banyak kerahmatan dan kasih sayangNya.
84. Maalikul Mulk: ( المالك الملك ) Maha Pemilik Kekuasaan / Maha Menguasai kerajaan / Pemilik Kedaulatan Yang Kekal, maka segala perkara yang berlaku di alam semesta, langit, bumi dan sekitarnya serta yang di alam semesta itu semuanya sesuai dengan kehendak dan iradatNya.
85. Zul-Jalaali Wal Ikraam: ( ذوالجلال والإكرام ) Maha Pemilik Keagungan dan Kemuliaan / Maha Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan. Juga Zat yang mempunyai keutamaan dan kesempurnaan, pemberi kurnia dan kenikmatan yang amat banyak dan melimpah ruah.
86. Al-Muqsith: ( المقسط ) Maha Mengadili / Maha Saksama, iaitu memberikan kemenangan pada orang-orang yang teraniaya dari tindakan orang-orang yang menganiaya dengan keadilanNya.
87. Al-Jaami’: ( الجامع ) Maha Mengumpulkan / Maha Pengumpul, iaitu mengumpulkan berbagai hakikat yang telah bercerai-berai dan juga mengumpulkan seluruh umat manusia pada hari pembalasan.
88. Al-Ghaniy: ( الغنى ) Maha Kaya Raya / Maha Kaya serta Serba Lengkap, iaitu tidak berkehendakkan apa juapun dari yang selain ZatNya sendiri, tetapi yang selainNya itu amat mengharapkan padaNya.
89. Al-Mughnii: ( المغنى ) Maha Pemberi kekayaan / Maha Mengkayakan dan Memakmurkan, iaitu memberikan kelebihan yang berupa kekayaan yang berlimpah-ruah kepada siapa saja yang dikehendaki dari golongan hamba-hambaNya.
90. Al-Maani’: ( المانع ) Maha Membela atau Maha Menolak / Maha Pencegah, iaitu membela hamba-hambaNya yang soleh dan menolak sebab-sebab yang menyebabkan kerosakan.
91. Adh-Dhaar: ( الضار ) Maha Mendatangkan Mudharat / Maha Pembuat Bahaya / Maha Pemberi bahaya, iaitu dengan menurunkan seksa-seksaNya kepada musuh-musuhNya
92. An-Naafi’: ( النافع ) Maha Pemberi Manfaat , iaitu meluaslah kebaikan yang dikurniakanNya itu kepada semua hamba, masyarakat dan negeri.
93. An-Nuur: ( النور ) Maha Pemberi Cahaya / Maha Bercahaya, iaitu menonjokan ZatNya sendiri dan menampakkan untuk yang selainNya dengan menunjukkan tanda-tanda kekuasaanNya.
94. Al-Haadi: ( الهادى ) Maha Pemberi Petunjuk / Yang Memimpin dan Memberi Pertunjuk, iaitu memberikan jalan yang benar kepada segala sesuatu agar berterusan adanya dan terjaga kehidupannya.
95. Al-Badii’: ( البديع ) Maha Indah / Tiada Bandingan / Maha Pencipta yang baru, sehingga tidak ada contoh dan yang menyamai sebelum keluarnya ciptaanNya itu.
96. Al-Baaqi: ( الباقع ) Maha Kekal, iaitu kekal hidupNya untuk selama-Iamanya
97. Al-Waarits: ( الوارث ) Maha Membahagi / Maha Mewarisi / Maha Pewaris, iaitu kekal setelah musnahnya seluruh makhluk.
98. Ar-Rasyiid: ( الرشيد ) Maha Cendekiawan / Maha Pandai / Bijaksana / Maha Memimpin, iaitu yang memimpin kepada kebenaran, iaitu memberi penerangan dan panduan pada seluruh hambaNya dan segala peraturanNya itu berjalan mengikut ketentuan yang digariskan oleh kebijaksanaan dan kecendekiawanNya.
99. Ash-Shabuur: ( الصبور ) Maha Penyabar yang tidak tergesa-gesa memberikan seksaan dan tidak juga cepat melaksanakan sesuatu sebelum masanya.
Semoga kita diberikan anugerah dan hidayah untuk selalu mengingat Allah dengan Asmaul Husna-Nya. Semoga Bermanfaat…

Pengertian Yatim

Pertanyaan : “Assalamu’alaikum, Ustadz, mohon diulas definisi anak yatim, Yatim itu seperti apa ya?”


Terdapat perbedaan pengertian “yatim” ditinjau dari pengertian bahasa Indonesia dan pengertian syariat. Penting mengetahui pengertian syariatnya agar tidak salah memahami nash yang terkait dengan hukum Islam semisal anjuran menyantuni anak yatim.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yatim adalah tidak beribu atau tidak berayah lagi (karena ditinggal mati). Jika dikombinasikan dengan piatu maka maknanya adalah tidak punya bapak dan ibu.

Kesimpulannya yatim adalah yang salah satu orang tuanya meninggal dunia, sedangkan yatim piatu adalah kedua orang tuanya sudah meninggal. (sumber KBBI)

“Yatim” dalam pengertian syariat adalah anak yang ditinggal mati bapaknya dan ia belum mencapai usia baligh. Karena kurang paham pengertian syariat, sebagian kaum muslimin memberikan santunan kepada orang yang tidak ada ayahnya tetapi sudah baligh bahkan ia sudah menikah dan mempunyai keluarga.

Pengertian ini berdasarkan hadits :

لَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ

“Tidak ada yatim setelah ihtilaam (mimpi basah/baligh).” [Sunan Abu Dawud, No. 2873 dan dihukumi shahih oleh syaikh al-Albani]

Dalam Kamus Bahasa Arab Mu’jam Al-Ma’ani Al-Jami’ dijelaskan pengertian Yatim:


الصَّغيرُ الفاقدَّ الأَبِ من الإِنسان ، والأُمِّ من الحيوان

“Anak kecil dari manusia yang kehilangan (ditinggal mati) bapaknya, sedangkan pada hewam jika kehilangan ibunya.” [Kamus Mu’jam Al-Ma’ani Al-Jami’]

Dari pengertian ini maka kita tidak boleh keliru lagi memahami beberapa hal terkait yatim dalam syariat semisal: Keutamaan menyantuni anak yatim

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ﺃَﻧَﺎ ﻭَﻛَﺎﻓِﻞُ ﺍﻟْﻴَﺘِﻴﻢِ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻫﻜَﺬَﺍ ‏» ﻭﺃﺷﺎﺭ ﺑﺎﻟﺴﺒﺎﺑﺔ ﻭﺍﻟﻮﺳﻄﻰ ﻭﻓﺮﺝ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺷﻴﺌﺎً

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya.” [HR. al-Bukhari No. 4998 dan 5659]

Melembutkan hati yang keras dengan mengusap kepala anak yatim :

ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻠًﺎ ﺷَﻜَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺴْﻮَﺓَ ﻗَﻠْﺒِﻪِ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ: ﺇِﻥْ ﺃَﺭَﺩْﺕَ ﺗَﻠْﻴِﻴْﻦَ ﻗَﻠْﺒِﻚَ ﻓَﺄَﻃْﻌِﻢِ ﺍﻟْﻤِﺴْﻜِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻣْﺴَﺢْ ﺭَﺃْﺱَ ﺍﻟْﻴَﺘِﻴْﻢِ

“Dari Abu Hurairah, bahwasanya ada seseorang yang mengeluhkan kerasnya hati kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berkata kepadanya:

“Jika engkau ingin melembutkan hatimu, maka berilah makan kepada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” [HR. Ahmad, ash-Shahihah syaikh al-Albani]

Demikian yang kami sampaikan mengenai pengertian yatim. Untuk kebenaran yang haq hanyalah milik Allah SWT. Wallahu A’lam Bish-Showab… <ali>

Amalan Bulan Sya’ban

Nama Sya’ban diambil dari kata Sya’bun (Arab: شعب), yang artinya kelompok atau golongan. Dinamakan Sya’ban, karena pada bulan ini, masyarakat jahiliyah berpencar mencari air. Dan didaalam sumber lain di sebutkan bahwa kata sya’bun di artikan sebagai bulan mulia, dimana di bulan ini tidak ada peperangan. 

Jadi, dapat kita simpulkan dari pengertian diatas bahwasannya bulan sya’ban merupakan bulan yang sangat mulia dan bulan di mana kita lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan bulan di mana kita harus menghindari segala hal yang mendatangkan perselisihan dan hal–hal yang sifatnya negatif. 

Bulan sya’ban juga merupakan bulan di mana kita sebagai seorang muslim mempersiapkan diri untuk menghadapi puasa di bulan Ramadhan. Di bulan Sya’ban banyak yang lalai untuk beramal sholih. Mengenai bulan Sya’ban, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda : 

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ 
Artinya : “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” [HR. An-Nasa’i No. 2357. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan]

Kemudian sedikit kami sampaikan bahwa amalan yang dianjurkan pada bulan Sya’ban ini antara lain melaksanakan puasa sunnah. Sebuah hadits meriwayatkan, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan ;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ 
Artinya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” [HR. Bukhari No. 1969 dan Muslim No. 1156] 
Adapun untuk lafadz bacaan niat puasa Sya’ban adalah sebagai berikut :

نويت صوم شهر شعبان سنة لله تعالى
Latin : “NAWAITU SHAUMA SYAHRI SYA’BAAN SUNNATAN LILLAHI TA’ALA”
Artinya : “Saya niat puasa bulan sya’ban sunnah karena Allah ta’ala”

Di bulan Sya’ban juga amat dekat dengan bulan Ramadhan, sehingga bagi yang masih memiliki hutang puasa, maka ia punya kewajiban untuk segera melunasinya. Jangan sampai tertunda dan terlewat bulan Ramadhan berikutnya.

Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan ;

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
Artinya : “Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” [HR. Bukhari No. 1950 dan Muslim No. 1146]

Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Semoga Allah SWT. memudahkan kita mengikuti suri tauladan Rasulullah SAW. untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Semoga kita termasuk orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits berikut: 

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ 
Artinya : “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” [HR. Bukhari No. 2506]
Karenya hanya dengan hidayah-Nya kita dapat melaksanakan apa yg telah menjadi kewajiban kita sebagai ummat muslim.
Firman Allah SWT. di dalam Al-Qur’an :

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ 
Artinya : “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. [QS. Al-Qashash (28) : 56]
Wallahu A’lam Bish Shawab……

Dahsyatnya Sedekah

Alhamdulillah, kita masih diberikan kesehatan dan keimanan, serta beberapa nikmat yang tak terhingga yang telah Allah SWT. karuniakan kepada kita semua.

“Yayasan Mi’raj Mulia” tak henti-hentinya mengajak banyak pihak khususnya kaum muslimin dan muslimat, untuk bersama-sama menjadi penghuni surga kelak di akhirat, dimana disana tidak ada lagi pilihan dan negosiasi kepada sang kholiq untuk memilih dimana kita akan tinggal dan bersama siapa kita akan berjuma. Pilihan itu hanya dapat kita upayakan selama kita hidup di dunia ini.

Merujuk pada Firman Allah SWT. :

وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ 

Artinya : “Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” [QS. Al-Munafiqun (63): 11].

Ayat tersebut merupakan penjelasan dari ayat sebelum nya :


وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ 
Artinya : “Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali) “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.” [QS. Al-Munafiqun (63): 10]. 

Mengapa ia menyebut bersedekah. Padahal, banyak amal shaleh lainnya yang tak kalah dahsyat pahalanya. Sebut saja shalat sunah, baca Al-Quran, berpuasa, berzikir, berjihad, atau berangkat haji ke Tanah Suci. Mengapa ia memilih bersedekah dari sekian banyak amal-amal shaleh yang ada? Para ulama mengatakan, karena setelah kematiannya ia melihat sedemikian dahsyatnya pahala sedekah. 

Pesan Rasulullah SAW. diriwayatkan dalam sebuah Hadits : 

يَا عَائِشَة اسِتَتِرِيْ مِنَ النَّارِ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ ,فَإِنَّهَا تَسُدُّ مِنَ الْجَائِعِ مَسَدَّهَا مِنَ الشَّبْعَان 
Artinya : “Wahai ‘Aisyah, berlindunglah dari siksa api neraka walau dengan sebutir kurma, karena ia menutupi kelaparan dari orang yang lapar dan menggantinya dengan kenyang!”
[HR. Ahmad, al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, al-Albani Rahimahullah berkata: Hasan Lighairihi (Shahîh At-Targhib 865)]

Intinya, sedekah merupakan amalan yang praktis, mudah dilaksanakan, dan sangat dahsyat sebagai penyelamat seseorang di akhirat kelak. Bersedekah tak begitu sulit, tidak banyak menyita waktu. Sedekah bisa dilakukan siapa pun dan di manapun. Sedekah tak perlu ritual khusus, seperti harus berwudhu jika hendak shalat, harus /istitha’ah/ berkesanggupan (jika ingin haji), dan seterusnya. 

Sayangnya, selama di dunia banyak yang enggan bersedekah. Mereka terlalu sayang dengan harta walaupun mereka yakin bahwa harta tersebut tak akan dibawa mati. Ketika maut menjelang, harta berpindah tangan kepada orang lain. Ia baru akan merasakan, betapa meruginya selama di dunia menjadi orang yang bakhil.

Padahal di dalam Al-Qur’an Allah SWT. berfirman :


وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا ءَاتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya : “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS. Ali-Imran (3) : 180] 

Namun, pada kenyataannya masih banyak orang yang mengaku beriman namun tidak percaya dengan sabda Nabi mereka sendiri, dan bahkan dari perintah Allah yang meciptakan dirinya sendiri. Mereka meragukan jaminan Nabi mereka bagi orang yang bersedekah, mereka melalaikan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Bahkan mereka cenderung begitu sayang untuk merelakan harta terbaik mereka untuk disedekahkan. Padahal, sedekah itulah tabungan mereka di akhirat yang akan setia mendampingi mereka. Ketika mereka sudah melihat akhirat, barulah mereka sadar, sedekahlah amal saleh dahsyat yang mampu menyelamatkan mereka. 

Dalam riwayat lain diterangkan pada sebuah hadits, seorang wanita pelacur diampuni dosanya hanya karena memberi setadah air kepada seekor anjing.


بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ قَدْ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِىٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِى إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَاسْتَقَتْ لَهُ بِهِ فَسَقَتْهُ إِيَّاهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ

Artinya : “Pada suatu ketika ada seekor anjing mengelilingi sebuah sumur. Anjing itu hampir mati kehausan. Tiba-tiba dia terlihat oleh seorang wanita pelacur dari bangsa Israil. Maka dia (pelacur) membuka kasutnya. Kemudian dia mencedok air dengan kasutnya, lalu anjing itu diberi minum. Karena hal itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengampuni dosa-dosa wanita itu.”[Sahih Bukhari, No. 3208, Sahih Muslim, No. 4163, Musnad Ahmad, No. 10178]
Sedemikian hebatnya sedekah, bahkan sedekah ringan memberi minum binatang sejenis anjing pun diperhitungkan oleh Allah SWT.

Apalagi, sedekah dari orang-orang yang sholih dan rajin shalat, dan sedekahnya pun lebih bermanfaat untuk fakir miskin dan kaum dhuafa, menyantuni anak yatim, serta membangun tempat ibadah dan lembaga pendidikan. Tentu, hal ini lebih dahsyat lagi menolong sahibnya di akhirat kelak.

Semoga kita sebagai ummat muslim pada umumnya dan sahabat “Yayasan Mi’raj Mulia” selalu dapat bebuat kebaikan dimuka bumi ini sebagai bekal kelak di hari dimana semua diperhitungkan.

Wallahu A’lam Bish Showab…

Pahala dan Keutamaan Menyantuni Anak Yatim

Keutamaan Menyantuni Anak Yatim Piatu

Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Artinya : “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya [1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang yang menyantuni anak yatim, sehingga imam Bukhari mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan orang yang mengasuh anak yatim.
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

  • Makna hadits ini: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [2].
  •  Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar
  • Yang dimaksud dengan anak yatim adalah seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya sebelum anak itu mencapai usia dewasa.
  • Keutamaan dalam hadits ini belaku bagi orang yang menyantuni anak yatim dari harta orang itu sendiri atau harta anak yatim tersebut jika orang itu benar-benar yang mendapat kepercayaan untuk itu
  • Demikian pula, keutamaan ini berlaku bagi orang yang menyantuni anak yatim yang punya hubungan keluarga dengannya atau anak yatim yang sama sekali tidak punya hubungan keluarga dengannya.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan mengasuh anak yatim, yang ini sering terjadi dalam kasus “anak angkat”, karena ketidakpahaman sebagian dari kaum muslimin terhadap hukum-hukum dalam syariat Islam, di antaranya:

  1. Larangan menisbatkan anak angkat/anak asuh kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” (QS al-Ahzaab: 5).

  1. Anak angkat/anak asuh tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang mengasuhnya, berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia.
  2. Anak angkat/anak asuh bukanlah mahram , sehingga wajib bagi orang tua yang mengasuhnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah.

Pahala Mengasuh Anak Yatim Piatu

Berbahagialah orang-orang yang di rumahnya terdapat anak yatim karena Rasulullah memberikan jaminan pertama, memiliki pahala yang setaraf dengan jihad. Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Barang siapa yang mengasuh tiga anak yatim, maka bagaikan bangun pada malam hari dan puasa pada siang harinya, dan bagaikan orang yang keluar setiap pagi dan sore menghunus pedangnya untuk berjihad di jalan Allah. Dan kelak di surga bersamaku bagaikan saudara, sebagaimana kedua jari ini, yaitu jari telunjuk dan jari tengah.” (H.R. Ibnu Majah).

Kedua, mendapat perlindungan di hari kiamat. Rasulullah Saw. bersabda, “Demi Allah yang mengutusku dengan kebenaran, di hari kiamat Allah Swt. tidak akan mengazab orang yang mengasihi anak yatim, dan bersikap ramah kepadanya, serta bertutur kata yang manis. Dia benar-benar menyayangi anak yatim dan memaklumi kelemahannya, dan tidak menyombongkan diri pada tetangganya atas kekayaan yang diberikan Allah kepadanya.” (H.R. Thabrani).

Ketiga, masuk surga dengan mudah. Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang memelihara anak yatim di tengah kaum muslimin untuk memberi makan dan minum, maka pasti Allah memasukkannya ke dalam surga, kecuali jika ia telah berbuat dosa yang tidak dapat diampuni.” (H.R. Tirmidzi)